 Pura ini terletak di Desa Wongaya Gede, 
Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, berjarak sekitar 42 km di sebelah 
barat Denpasar atau sekitar satu jam perjalanan dengan mobil dari 
Denpasar, Bali. Nama “Batukaru” berarti “batok kelapa” yaitu nama gunung
 tempat di mana pura suci ini dibangun yaitu di kaki Gunung Batukaru 
yang merupakan puncak kedua tertinggi di Bali dengan ketinggian 2278 
meter dari muka laut.
Pura ini terletak di Desa Wongaya Gede, 
Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, berjarak sekitar 42 km di sebelah 
barat Denpasar atau sekitar satu jam perjalanan dengan mobil dari 
Denpasar, Bali. Nama “Batukaru” berarti “batok kelapa” yaitu nama gunung
 tempat di mana pura suci ini dibangun yaitu di kaki Gunung Batukaru 
yang merupakan puncak kedua tertinggi di Bali dengan ketinggian 2278 
meter dari muka laut.
Pura Luhur Batukaru yang berada pada 
ketinggian 700 meter di atas muka laut ini dibangun sekitar abad XI atas
 prakarsa Mpu Kuturan atau Mpu Rajakerta (menurut lontar Usana Bali), 
pada masa pemerintahan Raja kembar Sri Masula-Masuli di Bali, dan 
kemudian diperluas dan diperindah oleh Arya Kenceng dan keturunannya 
yang kemudian memerintah Kerajaan Badung dan Kerajaan Tabanan di Bali.
Pura ini merupakan salah satu “Sad 
Kahyangan” yaitu salah satu dari enam pura yang dianggap paling penting 
oleh penduduk Pulau Bali. Pura-Pura Sad Kahyangan lainnya antara lain: 
Pura Uluwatu, Pura Pusering Jagat, Pura Besakih, Pura Goa Lawah, dan 
Pura Lempuyang Luhur. Pura ini juga merupakan salah satu Pura Catur Loka
 Pala yaitu empat pura yang terletak di empat penjuru mata angin di 
Bali, antara lain: Pura Puncak Mangu di utara, Pura Lempuyang Luhur di 
Timur, Pura Andakasa di selatan dan Pura Luhur Batukaru di barat.
Dalam Babad Buleleng dari tahun 1605 
tersurat bahwa pada waktu itu Raja Buleleng yaitu Ki Gusti Panji Sakti 
ingin memperluas kerajaannya dengan menyerang Kerajaan Tabanan. Pura 
Luhur Batukaru yang terletak di perbatasan kedua kerajaan sempat dirusak
 oleh pasukan Panji Sakti namun tiba-tiba sekawanan lebah menyerang 
pasukan tersebut yang akhirnya menggagalkan niat Panji Sakti tersebut. 
Pura ini kemudian diperbaiki pada tahun 1959 dan pada tahun 1977 
sehingga berbentuk seperti sekarang ini.
Di Pura Luhur Batukaru dipuja leluhur 
Raja-Raja Badung dan Tabanan, dan di sini juga dipuja Tuhan sebagai Sang
 Hyang Tumuwuh, yaitu Tuhan sebagai Penguasa Tri Candra yaitu: udara, 
air dan tumbuh-tumbuhan sehingga memotivasi manusia untuk melindungi dan
 melestarikan Tri Candra ini yang pada gilirannya akan menjamin 
kelangsungan hidup semua makhluk hidup di alam ini. Pura Luhur Batukaru 
dan pura-pura Jajar Kemiri atau Prasanaknya memang melambangkan 
nilai-nilai spiritual untuk memotivasi umat agar selalu berusaha 
melestarikan Tri Candra ini. Hal ini terlihat lebih mendesak lagi saat 
ini dengan adanya perubahan iklim akibat pemanasan global yang dibahas 
dalam Konferensi 187 negara di Nusa Dua.
Odalan di pura ini jatuh sehari setelah 
Hari Raya Galungan, yaitu pada hari Kamis Wuku Dungulan yaitu setiap 210
 hari sekali menurut Penanggalan Pawukon. Upacara di pura ini unik 
karena tidak pernah dipimpin oleh pendeta, hanya oleh seorang pemangku 
yang disebut Jero Kubayan.
Di pura ini ada upacara unik yang tidak 
dijumpai di tempat lainnya yaitu upacara Marebu Kulak. Upacara ini 
diikuti oleh seluruh pengempon pura (disebut warga Pekandelan) yang baru
 menikah. Mula-mula pasangan pengantin baru bersembahyang di Pura 
Pengakan Pasek, kemudian naik turun tangga di Bale Agung. Bila salah 
satu pasangan tidak lengkap, misalnya karena istrinya hamil, wajib 
digantikan oleh salah seorang kerabatnya. Sebelum melaksanakan upacara 
ini, pasangan pengantin baru ini tidak boleh naik di Bale Agung di Jaba 
Tengah. Ada kepercayaan di sini yaitu anak yang gigi susunya belum 
pernah berganti (tonden meketus) tidak boleh masuk ke halaman dalam pura
 karena sering menangis menjerit-jerit tanpa alasan, sebagaimana pernah 
terjadi pada suatu piodalan pada tahun 2002.




 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar