Pura Gunung Raung adalah salah satu pura tertua
di Bali. Letaknya di Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar. Pura
ini erat sekali kaitannya dengan perjalanan Rsi Markandya, seorang resi dari
Pasraman Gunung Raung, Jawa Timur, ke Bali untuk menyebarkan ajaran Sanatana Dharma(Kebenaran Abadi) yang kini dikenal
dengan sebutan Hindu Dharma.
Setelah terlebih dahulu mengawali langkahnya dengan mendirikan Pura Basukian di Besakih, selanjutnya Rsi Markandya membangun pasraman (semacam pesantrian) di Taro. Pasraman inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.
Di desa Taro, Pura Gunung Raung ini terletak persis di tengah-tengah desa dan
menjadi pembatas Banjar Taro Kaja (utara) dan Banjar Taro Kelod (selatan). Ini
adalah sesuatu yang unik, sebab pada umumnya letak pura di Desa Kuno di Bali
adalah di daerah hulu dan di daerah hilir desa.
Tentang perjalanan Rsi Markandya pada abad ke-8 itu, menurut lontar Bali Tatwa, mulanya Sang Resi berasrama di Damalung, Jawa Timur. Selanjutnya, beliau mengadakantirthayatra (perjalanan suci) ke arah timur hingga ke Gunung Hyang (Dieng). Tak ada tempat ideal yang ia temukan sebagai pasraman dalam perjalanan suci tersebut. Resi Markandya pun melanjutkan perjalanannya ke arah timur hingga tiba di Gunung Raung, Jawa Timur. Di tempat inilah beliau membangun asrama dan melakukan pertapaan.
Suatu hari, dalam samadinya, beliau mendapatkan petunjuk agar meneruskan
perjalanan ke arah timur lagi, yakni ke Pulau Bali. Petunjuk itu pun
dilaksanakannya. Diiringi 800 pengikut, beliau melanjutkan perjalanan sucinya
ke Bali.
Tiba di sebuah tempat yang berhutan lebat di lambung Gunung Agung, Rsi Markandya berkemah dan membuka areal pertanian. Namun, para pengikut beliau terkena wabah penyakit hingga sebagian di antaranya meninggal dunia. Hanya sekitar 400 pengikut saja yang tersisa.
Melihat keadaan itu, Resi Markandya kembali ke Jawa Timur untuk bersamadi dan memohon petunjuk. Tuhan yang menampakkan dirinya sebagai Sang Hyang Pasupati kemudian hadir dan memberi tahu Sang Rsi bahwa kesalahannya adalah tidak melakukan ritual dan mempersembahkan sesaji untuk mohon izin saat hendak merambah hutan. Mendapat keterangan demikian, Resi Markandya kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung Agung (Ukir Raja). Saat itu beliau diring oleh para pengikut yang disebut Wong Age.
Setelah terlebih dahulu mengawali langkahnya dengan mendirikan Pura Basukian di Besakih, selanjutnya Rsi Markandya membangun pasraman (semacam pesantrian) di Taro. Pasraman inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.
Tentang perjalanan Rsi Markandya pada abad ke-8 itu, menurut lontar Bali Tatwa, mulanya Sang Resi berasrama di Damalung, Jawa Timur. Selanjutnya, beliau mengadakantirthayatra (perjalanan suci) ke arah timur hingga ke Gunung Hyang (Dieng). Tak ada tempat ideal yang ia temukan sebagai pasraman dalam perjalanan suci tersebut. Resi Markandya pun melanjutkan perjalanannya ke arah timur hingga tiba di Gunung Raung, Jawa Timur. Di tempat inilah beliau membangun asrama dan melakukan pertapaan.
Tiba di sebuah tempat yang berhutan lebat di lambung Gunung Agung, Rsi Markandya berkemah dan membuka areal pertanian. Namun, para pengikut beliau terkena wabah penyakit hingga sebagian di antaranya meninggal dunia. Hanya sekitar 400 pengikut saja yang tersisa.
Melihat keadaan itu, Resi Markandya kembali ke Jawa Timur untuk bersamadi dan memohon petunjuk. Tuhan yang menampakkan dirinya sebagai Sang Hyang Pasupati kemudian hadir dan memberi tahu Sang Rsi bahwa kesalahannya adalah tidak melakukan ritual dan mempersembahkan sesaji untuk mohon izin saat hendak merambah hutan. Mendapat keterangan demikian, Resi Markandya kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung Agung (Ukir Raja). Saat itu beliau diring oleh para pengikut yang disebut Wong Age.
Setelah itu memendam panca datu dan melakukan ritual lainnya, barulah kemudian Sang Rsi memerintahkan pengikutnya untuk membuka lahan pertanian menurun hingga ke Gunung Lebah di Ubud. Sampai di sebuah lahan yang cukup strategis, beliau mengadakan penataan seperti pembagian lahan untuk perumahan dan pertaian untuk para pengikutnya. Desa itu kemudian dinamakan Desa Puakan.
Selanjutnya, Rsi Markadya juga memerintahkan sebagian pengikutnya membuka lahan hingga ke sebuah tempat yang subur yang dinamakan Desa Sarwa Ada. Di sana beliau juga melakukan penataan dan pembagian lahan bagi para pengikutnya. Dan, setelah semua pengikutnya mendapatkan lahan untuk melanjutkan dan mengembangkan kehidupannya, beliau kemudian membangun sebuah pasraman yang serupa dengan pasramannya di Gunung Raung, Jawa Timur. Entah kenapa, pada saat itu kembali Resi Markandya mendapatkan banyak gangguan dan kesulitan.
Sebelumnya, di Desa Taro, hidup sapi putih yang
dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai keturunan Lembu Nandini (Tunggangan
Dewa Siwa). Sapi putih itu dikeramatkan oleh penduduk di Desa Taro. Dang Hyang
Markandya adalah seorang resi yang menganut paham Waisnawa, namun dengan
membiarkan masyarakat tetap mengeramatkan sapi putih itu, menunjukan bahwan
beliau menghormati keberadaan paham Siwaisme yang sudah sempat tumbuh dan
berkembang di Taro.
Pura dengan pohon yang bersinar tersebut
menjadi pusat desa. Karenanya, desa tersebut dinamakan Desa Taro. Taro berasal
dari kata”taru” yang berarti pohon. Sedangkan nama pura dan
pasramannya sama dengan nama sebelumnya yakni Gunung Raung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar