Keistimewaan Pantai Nusa Dua seluas sekitar 350 hektar ini semakin lengkap dengan beragam fasilitas eksklusif

Selasa, 25 Oktober 2016

PURA GUNUNG RAUNG


Image result for PURA GUNUNG RAUNG

Pura Gunung Raung adalah salah satu pura tertua di Bali. Letaknya di Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini erat sekali kaitannya dengan perjalanan Rsi Markandya, seorang resi dari Pasraman Gunung Raung, Jawa Timur, ke Bali untuk menyebarkan ajaran Sanatana Dharma(Kebenaran Abadi) yang kini dikenal dengan sebutan Hindu Dharma.

Setelah terlebih dahulu mengawali langkahnya dengan mendirikan Pura Basukian di Besakih, selanjutnya Rsi Markandya membangun pasraman (semacam pesantrian) di Taro. Pasraman inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.

Image result for PURA GUNUNG RAUNG
Di desa Taro, Pura Gunung Raung ini terletak persis di tengah-tengah desa dan menjadi pembatas Banjar Taro Kaja (utara) dan Banjar Taro Kelod (selatan). Ini adalah sesuatu yang unik, sebab pada umumnya letak pura di Desa Kuno di Bali adalah di daerah hulu dan di daerah hilir desa.
Tentang perjalanan Rsi Markandya pada abad ke-8 itu, menurut lontar Bali Tatwa, mulanya Sang Resi berasrama di Damalung, Jawa Timur. Selanjutnya, beliau mengadakantirthayatra (perjalanan suci) ke arah timur hingga ke Gunung Hyang (Dieng). Tak ada tempat ideal yang ia temukan sebagai pasraman dalam perjalanan suci tersebut. Resi Markandya pun melanjutkan perjalanannya ke arah timur hingga tiba di Gunung Raung, Jawa Timur. Di tempat inilah beliau membangun asrama dan melakukan pertapaan.

Image result for PURA GUNUNG RAUNG
Suatu hari, dalam samadinya, beliau mendapatkan petunjuk agar meneruskan perjalanan ke arah timur lagi, yakni ke Pulau Bali. Petunjuk itu pun dilaksanakannya. Diiringi 800 pengikut, beliau melanjutkan perjalanan sucinya ke Bali.

Tiba di sebuah tempat yang berhutan lebat di lambung Gunung Agung, Rsi Markandya berkemah dan membuka areal pertanian. Namun, para pengikut beliau terkena wabah penyakit hingga sebagian di antaranya meninggal dunia. Hanya sekitar 400 pengikut saja yang tersisa.
Melihat keadaan itu, Resi Markandya kembali ke Jawa Timur untuk bersamadi dan memohon petunjuk. Tuhan yang menampakkan dirinya sebagai Sang Hyang Pasupati kemudian hadir dan memberi tahu Sang Rsi bahwa kesalahannya adalah tidak melakukan ritual dan mempersembahkan sesaji untuk mohon izin saat hendak merambah hutan. Mendapat keterangan demikian, Resi Markandya kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung Agung (Ukir Raja). Saat itu beliau diring oleh para pengikut yang disebut Wong Age.

Image result for PURA GUNUNG RAUNG
Setiba di Gunung Agung, Rsi Markandya mengadakan upacara dengan menanamPanca Datu yaitu lima jenis logam (emas, perak, besi, perunggu, timah) yang merupakan simbolis dari kekuatan alam semesta. Di tempat pelaksanaan ritual dan pemendaman panca datu tersebut kemudian didirikan pura yang dinamakan Pura Basukian yang menjadi cikap bakal berdirinya kompleks Pura Besakih.

Setelah itu memendam panca datu dan melakukan ritual lainnya, barulah kemudian Sang Rsi memerintahkan pengikutnya untuk membuka lahan pertanian menurun hingga ke Gunung Lebah di Ubud. Sampai di sebuah lahan yang cukup strategis, beliau mengadakan penataan seperti pembagian lahan untuk perumahan dan pertaian untuk para pengikutnya. Desa itu kemudian dinamakan Desa Puakan.

Selanjutnya, Rsi Markadya juga memerintahkan sebagian pengikutnya membuka lahan hingga ke sebuah tempat yang subur yang dinamakan Desa Sarwa Ada. Di sana beliau juga melakukan penataan dan pembagian lahan bagi para pengikutnya. Dan, setelah semua pengikutnya mendapatkan lahan untuk melanjutkan dan mengembangkan kehidupannya, beliau kemudian membangun sebuah pasraman yang serupa dengan pasramannya di Gunung Raung, Jawa Timur. Entah kenapa, pada saat itu kembali Resi Markandya mendapatkan banyak gangguan dan kesulitan.


Sebelumnya, di Desa Taro, hidup sapi putih yang dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai keturunan Lembu Nandini (Tunggangan Dewa Siwa). Sapi putih itu dikeramatkan oleh penduduk di Desa Taro. Dang Hyang Markandya adalah seorang resi yang menganut paham Waisnawa, namun dengan membiarkan masyarakat tetap mengeramatkan sapi putih itu, menunjukan bahwan beliau menghormati keberadaan paham Siwaisme yang sudah sempat tumbuh dan berkembang di Taro.

 Pura dengan pohon yang bersinar tersebut menjadi pusat desa. Karenanya, desa tersebut dinamakan Desa Taro. Taro berasal dari kata”taru” yang berarti pohon. Sedangkan nama pura dan pasramannya sama dengan nama sebelumnya yakni Gunung Raung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...