Keistimewaan Pantai Nusa Dua seluas sekitar 350 hektar ini semakin lengkap dengan beragam fasilitas eksklusif

Selasa, 11 Oktober 2016

PURA JATI LUWIH

Image result for PURA JATILUWIH TABANAN
PURA Luhur Jati Luwih berlokasi di wilayah Desa Adat Sarin Buana, Desa Wanagiri, Selemadeg, Tabanan. Berada di tengah-tengah hutan lindung pada sisi sebelah tenggara punggung Gunung Batukaru dengan ketinggian sekitar seribu meter di atas permukaan laut, beriklim pegunungan yang dingin, dengan kelembaban udara yang cukup tinggi.
Pura ini diperkirakan telah berdiri pada abad ke-9 sampai 12 Masehi. Untuk mencapainya, para pamedek dapat melalui jalan raya jalur Denpasar-Gilimanuk, belok ke kanan jurusan Bajera Pupuan Sawah-Wanagiri hingga mencapai Desa Adat Sarin Buana. Dari Desa Sarin Buana kita harus memasuki hutan lindung lebih dari 3 km dengan kemiringan sekitar 45 derajat untuk mencapai pura ini.
Sangat sedikit sumber maupun catatan pengkajian yang mengungkap pendirian Pura Jati Luwih. Sumber yang dapat dikumpulkan melalui penuturan dari pemuka masyarakat, pemangku pura dan pelinggih-pelinggih yang ada, serta tata upacara yang berlaku di pura tersebut. Berdasarkan penuturan Jero Mangku Gede (I Wayan Menteg) yang diyakini kebenarannya secara turun-temurun oleh masyarakat sekitar, pada zaman dahulu, masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Batukaru, khususnya masyarakat di sekitar wilayah pura, mengalami kemarau panjang sehingga lahan pertanian kering tidak menghasilkan. Masyarakat pun mengalami kelaparan oleh peristiwa itu.
Dengan harapan untuk bertahan hidup, sebagian masyarakat masuk ke hutan untuk berburu maupun mendapatkan beberapa bahan makanan. Beberapa di antaranya kawehan (mengalami kehilangan pandangan normal dan mengalami penglihatan gaib) dan melihat sawah yang padinya menguning dan sebuah rumah indah. Oleh sang kakek yang menjadi pemilik rumah dan padi itu, warga tersebut diajak singgah ke rumah.
Image result for PURA JATILUWIH TABANAN
Di sana warga yang berburu itu diberi beberapa helai bulir bibit padi gaga (tegalan) dan berpesan agar padi tersebut ditanam dan dikembangkan di desanya. Setelah menerima bibit padi, tiba-tiba kakek tersebut menghilang seketika dan rumah yang bagus tersebut kini berubah menjadi bebaturan dalam kesadaran yang pulih dari pemburu tersebut.
Bibit padi tersebut ternyata berkembang dengan baik dan di tempat bebaturan itu didirikan pelinggih untuk mengupacarai setelah padi menguning atau menjelang panen. Pelinggih tersebut diberi nama Pucak Sari. Pura Pucak Sari adalah pura yang pertama didirikan untuk penunasan amerta. Tempat itu diberi tanda dengan pelawa yang ditancapkan. Sementara desa di mana bibit padi itu ditanam dikenal oleh masyarakat sebagai Desa Sarin Buana yang memiliki arti tempat sari-sarinya buana atau inti sari bumi yang memberi sumber kehidupan dan kemakmuran.
Image result for PURA JATILUWIH TABANAN
Dikatakan Jero Mangku Gede, sebelum zaman kerajaan di Tabanan, Pura Luhur Jati Luwih dikenal dengan Pura Luhur Sarin Buana, sama dengan nama desa adat sebagai pengempon pura tersebut. Mulai pada zaman kerajaan, nama Pura Sarin Buana diubah menjadi Pura Luhur Jati Luwih untuk tidak mengaburkan nama Pura Sarin Buana dengan nama Desa Adat Sarin Buana.
Pura Luhur Jati Luwih berarti pura yang berada di atas, di dataran tinggi, yang benar-benar utama, mulia atau baik (luwih). Menurut keyakinan masyarakat setempat, Pura Luhur Jati Luwih juga bermakna tempat suci yang benar-benar selalu memberikan kebaikan dan kesejatian dari hal yang dimohon pada tempat ini.
Dalam perjalanan sejarah, ternyata Pura Luhur Jati Luwih mengalami beberapa kali renovasi sehingga banyak bukti kepurbakalaan hilang. Seingat pemangku pura, pemugaran yang diketahuinya pertama dilakukan tahun 1971, disusul dengan pemugaran kedua tahun 1978 dan pemugaran ketiga tahun 1993. Berdasarkan cerita, bentuk asli pelinggih sebelum dipugar adalah berbentuk bebaturan yang berundak dengan batu menhir tertancap pada sisi-sisi samping ruang altar pemujaan.
Dari pengkajian yang dilakukan termasuk oleh Bappeda Tabanan disimpulkan, bangunan asli pelinggih Pura Luhur Jati Luwih merupakan bangunan zaman batu besar (megalitikum) dengan tradisi kebudayaan Hindu klasik. Di antara delapan buah pelinggih yang berjajar menghadap ke selatan hanya satu buah yang masih berbentuk bebaturan hingga kini yaitu pelinggih paling timur untuk pemujaan Ida Batari Pemutering Danu (Ulun Danu).
Sementara bangunan pelinggih lainnya telah diganti dengan bangunan pelinggih gegedongan yaitu gedong kereb dua buah sebagai pelinggih pokok untuk penghayatan ke Pucak Kedaton dan Pelinggih Agung Ida Batara Luhur Jati Luwih. Sedangkan lima buah pelinggih lainnya berbentuk gedong sekapat makereb duk masing-masing beruangan satu.
Ada satu pelinggih penghayatan ke Majapahit berupa Padma Capak Alit, menggambarkan pura tersebut mengalami proses perkembangan dari satu periode ke periode lainnya, dari zaman kuno hingga adanya pengaruh Jawa, yang diperkirakan zaman Mpu Kuturan sebagai tokoh suci sekaligus arsitek penataan pura di Bali.
Uniknya seluruh pelinggih yang ada berupa bangunan pendek-pendek, berbeda dengan pura lainnya di Bali yang menjulang tinggi. Dari peninggalan sejarah dan konsep pemujaan di pura itu, diperkirakan Pura Jati Luwih dibangun zaman Apaniyaga yaitu peralihan zaman Bali Aga ke zaman pengaruh Jawa sekitar abad ke-9 sampai 12 Masehi. Peninggalan sejarah berupa prasasti yang terdapat di Desa Sarin Buana bertahun Caka 1103, zaman pemerintahan Raja Jaya Pangus.
Bukti penunjuk lain, juga terdapat peninggalan sejarah yang tersimpan di Pura Siwa Desa Adat Sarin Buana berupa batu berbentuk kepala babi dan beberapa buah gong serta peralatan upacara berupa bajra atau genta. Dari bukti tersebut, menunjukkan Pura Luhur Jati Luwih merupakan pura yang cukup tua dengan karakteristik pemujaan pada puncak gunung sebagai purusa dan ulun danu sebagai pradana. Masyarakat pendukung telah mengenal sistem pertanian dan menetap dalam lingkungan desa pakraman.
Sejak dulu, pura ini dibina atau diayomi langsung oleh Puri Agung Tabanan dan pangenceng dari pura ini adalah Jero Subamia Tabanan yang pada zaman kerajaan sebagai patihnya Raja Tabanan. (upi)
Image result for PURA JATILUWIH TABANAN
Tempat Memohon ”Jejaton”
PURA Jati Luwih memiliki fungsi ganda, di samping memohon keselamatan dan kerahayuan jagat, juga sebagai tempat untuk memohon keselamatan dan kemakmuran di bidang pertanian. Juga sebagai tempat ngerastiti dalam memohon keselamatan tanaman pangan dari gangguan hama dan memohon turun hujan.
Penyungsung Pura Luhur Jati Luwih di samping Desa Adat Sarin Buana, juga krama subak dengan luas wilayah yang cukup besar, terdiri atas lima subak pekandelan dan 35 pekaseh subak. Karakter khusus lainnya dari pura ini adalah sebagai tempat untuk memohon sartana (jejaton) beras apabila ada upacara besar. Jejaton ini di wilayah Tabanan disebut nguwub.
Pura ini masih berhubungan dengan Pura Pucak Kedaton Batukaru dan Pura Pucak Sari yang ada di Desa Adat Sarin Buana. Di samping itu juga Pura Siwa yang berlokasi di Desa Sarin Buana merupakan tempat penyawangan dan penyimpanan benda pusaka yang masih ada hubungannya dengan pura ini. Di utama mandala pura ini terdapat delapan buah pelinggih serta empat bangunan suci sebagai penyangga.
Pelinggih paling timur merupakan pelinggih kuno berupa bebaturan untuk pemujaan Hyang Pemuterin Danu. Pelinggih Gedong Alit Saka Pat Rong Tunggal sebagai penghayatan ke Gunung Agung, selanjutnya pelinggih sama penghayatan ke Pucak Sari.
Pelinggih utama berupa pemujaan kepada Ida Batara Luhur Jati Luwih berupa pelinggih Gedong Saka Pat Rong Tunggal, terdapat juga pelinggih penghayatan Ida Batara Lingsir Putus di Pucak Kedaton Batukaru, Ida Batara Ayu Padangluwah, Ida Batara Turun Gunung, pelinggih Padma Capah pemujaan Ida Batara Mas Pahit. Juga masih ada beberapa pelinggih lainnya.
Hal yang menarik yang terdapat di jaba tengah berupa bekas bangunan lumbung padi bersaka empat tempat penyimpanan padi dari subak-subak penungsung dahulunya. Sekitar 400 meter dari pura ini terdapat pelinggih Taman Beji yang terletak di timur laut Pura Luhur Jati Luwih dengan pelinggih berupa bebaturan dengan air pancuran yang keluar dari bilahan batu padas.
Untuk saat ini, direncanakan akan dilakukan rehab terhadap pura yang masih tampak sederhana dengan pagar pembatas hidup, tanpa tembok penyengker ini. Penglingsir Jero Subamia IGG Putra Wirasana selaku penganceng mengaku harus memelihara titik-titik kesucian pura dan melakukan rehab tanpa harus menghilangkan peninggalan-peninggalan kuno yang ada. (upi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...