Pura ini diperkirakan telah berdiri pada
abad ke-9 sampai 12 Masehi. Untuk mencapainya, para pamedek dapat
melalui jalan raya jalur Denpasar-Gilimanuk, belok ke kanan jurusan
Bajera Pupuan Sawah-Wanagiri hingga mencapai Desa Adat Sarin Buana. Dari
Desa Sarin Buana kita harus memasuki hutan lindung lebih dari 3 km
dengan kemiringan sekitar 45 derajat untuk mencapai pura ini.
Sangat sedikit sumber maupun catatan
pengkajian yang mengungkap pendirian Pura Jati Luwih. Sumber yang dapat
dikumpulkan melalui penuturan dari pemuka masyarakat, pemangku pura dan
pelinggih-pelinggih yang ada, serta tata upacara yang berlaku di pura
tersebut. Berdasarkan penuturan Jero Mangku Gede (I Wayan Menteg) yang
diyakini kebenarannya secara turun-temurun oleh masyarakat sekitar, pada
zaman dahulu, masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Batukaru,
khususnya masyarakat di sekitar wilayah pura, mengalami kemarau panjang
sehingga lahan pertanian kering tidak menghasilkan. Masyarakat pun
mengalami kelaparan oleh peristiwa itu.
Dengan harapan untuk bertahan hidup,
sebagian masyarakat masuk ke hutan untuk berburu maupun mendapatkan
beberapa bahan makanan. Beberapa di antaranya kawehan (mengalami
kehilangan pandangan normal dan mengalami penglihatan gaib) dan melihat
sawah yang padinya menguning dan sebuah rumah indah. Oleh sang kakek
yang menjadi pemilik rumah dan padi itu, warga tersebut diajak singgah
ke rumah.
Bibit padi tersebut ternyata berkembang
dengan baik dan di tempat bebaturan itu didirikan pelinggih untuk
mengupacarai setelah padi menguning atau menjelang panen. Pelinggih
tersebut diberi nama Pucak Sari. Pura Pucak Sari adalah pura yang
pertama didirikan untuk penunasan amerta. Tempat itu diberi tanda dengan
pelawa yang ditancapkan. Sementara desa di mana bibit padi itu ditanam
dikenal oleh masyarakat sebagai Desa Sarin Buana yang memiliki arti
tempat sari-sarinya buana atau inti sari bumi yang memberi sumber
kehidupan dan kemakmuran.
Pura Luhur Jati Luwih berarti pura yang
berada di atas, di dataran tinggi, yang benar-benar utama, mulia atau
baik (luwih). Menurut keyakinan masyarakat setempat, Pura Luhur Jati
Luwih juga bermakna tempat suci yang benar-benar selalu memberikan
kebaikan dan kesejatian dari hal yang dimohon pada tempat ini.
Dalam perjalanan sejarah, ternyata Pura
Luhur Jati Luwih mengalami beberapa kali renovasi sehingga banyak bukti
kepurbakalaan hilang. Seingat pemangku pura, pemugaran yang diketahuinya
pertama dilakukan tahun 1971, disusul dengan pemugaran kedua tahun 1978
dan pemugaran ketiga tahun 1993. Berdasarkan cerita, bentuk asli
pelinggih sebelum dipugar adalah berbentuk bebaturan yang berundak
dengan batu menhir tertancap pada sisi-sisi samping ruang altar
pemujaan.
Dari pengkajian yang dilakukan termasuk
oleh Bappeda Tabanan disimpulkan, bangunan asli pelinggih Pura Luhur
Jati Luwih merupakan bangunan zaman batu besar (megalitikum) dengan
tradisi kebudayaan Hindu klasik. Di antara delapan buah pelinggih yang
berjajar menghadap ke selatan hanya satu buah yang masih berbentuk
bebaturan hingga kini yaitu pelinggih paling timur untuk pemujaan Ida
Batari Pemutering Danu (Ulun Danu).
Sementara bangunan pelinggih lainnya
telah diganti dengan bangunan pelinggih gegedongan yaitu gedong kereb
dua buah sebagai pelinggih pokok untuk penghayatan ke Pucak Kedaton dan
Pelinggih Agung Ida Batara Luhur Jati Luwih. Sedangkan lima buah
pelinggih lainnya berbentuk gedong sekapat makereb duk masing-masing
beruangan satu.
Ada satu pelinggih penghayatan ke
Majapahit berupa Padma Capak Alit, menggambarkan pura tersebut mengalami
proses perkembangan dari satu periode ke periode lainnya, dari zaman
kuno hingga adanya pengaruh Jawa, yang diperkirakan zaman Mpu Kuturan
sebagai tokoh suci sekaligus arsitek penataan pura di Bali.
Uniknya seluruh pelinggih yang ada berupa
bangunan pendek-pendek, berbeda dengan pura lainnya di Bali yang
menjulang tinggi. Dari peninggalan sejarah dan konsep pemujaan di pura
itu, diperkirakan Pura Jati Luwih dibangun zaman Apaniyaga yaitu
peralihan zaman Bali Aga ke zaman pengaruh Jawa sekitar abad ke-9 sampai
12 Masehi. Peninggalan sejarah berupa prasasti yang terdapat di Desa
Sarin Buana bertahun Caka 1103, zaman pemerintahan Raja Jaya Pangus.
Bukti penunjuk lain, juga terdapat
peninggalan sejarah yang tersimpan di Pura Siwa Desa Adat Sarin Buana
berupa batu berbentuk kepala babi dan beberapa buah gong serta peralatan
upacara berupa bajra atau genta. Dari bukti tersebut, menunjukkan Pura
Luhur Jati Luwih merupakan pura yang cukup tua dengan karakteristik
pemujaan pada puncak gunung sebagai purusa dan ulun danu sebagai
pradana. Masyarakat pendukung telah mengenal sistem pertanian dan
menetap dalam lingkungan desa pakraman.
Sejak dulu, pura ini dibina atau diayomi
langsung oleh Puri Agung Tabanan dan pangenceng dari pura ini adalah
Jero Subamia Tabanan yang pada zaman kerajaan sebagai patihnya Raja
Tabanan. (upi)
PURA Jati Luwih memiliki fungsi
ganda, di samping memohon keselamatan dan kerahayuan jagat, juga sebagai
tempat untuk memohon keselamatan dan kemakmuran di bidang pertanian.
Juga sebagai tempat ngerastiti dalam memohon keselamatan tanaman pangan
dari gangguan hama dan memohon turun hujan.
Penyungsung Pura Luhur Jati Luwih di
samping Desa Adat Sarin Buana, juga krama subak dengan luas wilayah yang
cukup besar, terdiri atas lima subak pekandelan dan 35 pekaseh subak.
Karakter khusus lainnya dari pura ini adalah sebagai tempat untuk
memohon sartana (jejaton) beras apabila ada upacara besar. Jejaton ini
di wilayah Tabanan disebut nguwub.
Pura ini masih berhubungan dengan Pura
Pucak Kedaton Batukaru dan Pura Pucak Sari yang ada di Desa Adat Sarin
Buana. Di samping itu juga Pura Siwa yang berlokasi di Desa Sarin Buana
merupakan tempat penyawangan dan penyimpanan benda pusaka yang masih ada
hubungannya dengan pura ini. Di utama mandala pura ini terdapat delapan
buah pelinggih serta empat bangunan suci sebagai penyangga.
Pelinggih paling timur merupakan
pelinggih kuno berupa bebaturan untuk pemujaan Hyang Pemuterin Danu.
Pelinggih Gedong Alit Saka Pat Rong Tunggal sebagai penghayatan ke
Gunung Agung, selanjutnya pelinggih sama penghayatan ke Pucak Sari.
Pelinggih utama berupa pemujaan kepada
Ida Batara Luhur Jati Luwih berupa pelinggih Gedong Saka Pat Rong
Tunggal, terdapat juga pelinggih penghayatan Ida Batara Lingsir Putus di
Pucak Kedaton Batukaru, Ida Batara Ayu Padangluwah, Ida Batara Turun
Gunung, pelinggih Padma Capah pemujaan Ida Batara Mas Pahit. Juga masih
ada beberapa pelinggih lainnya.
Hal yang menarik yang terdapat di jaba
tengah berupa bekas bangunan lumbung padi bersaka empat tempat
penyimpanan padi dari subak-subak penungsung dahulunya. Sekitar 400
meter dari pura ini terdapat pelinggih Taman Beji yang terletak di timur
laut Pura Luhur Jati Luwih dengan pelinggih berupa bebaturan dengan air
pancuran yang keluar dari bilahan batu padas.
Untuk saat ini, direncanakan akan
dilakukan rehab terhadap pura yang masih tampak sederhana dengan pagar
pembatas hidup, tanpa tembok penyengker ini. Penglingsir Jero Subamia
IGG Putra Wirasana selaku penganceng mengaku harus memelihara
titik-titik kesucian pura dan melakukan rehab tanpa harus menghilangkan
peninggalan-peninggalan kuno yang ada. (upi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar